Karier film Rhoma Irama dimulai jauh sebelum ia dikenal sebagai “Raja Dangdut”. Di usia sekitar 11 tahun, Rhoma kecil sudah tampil di film anak-anak “Djendral Kantjiel”, bersama Achmad Albar dan Rendra Karno (film ini belum terkonfirmasi sebagai salah satu film yang dibintangi Rhoma Irama-red).
Pengalaman ini menjadi pintu pertama yang memperkenalkan Rhoma pada dunia layar lebar, meski ia baru benar-benar meledak sebagai bintang film di era 1970-an ketika namanya telah besar di musik dangdut. Sejumlah kajian dan biografi menyebutkan bahwa Rhoma kemudian menjadikan film sebagai media dakwah dan kritik sosial yang sejalan dengan musik Soneta.
Sejak saat itu, hampir semua film yang ia bintangi memadukan tiga unsur: cerita cinta, konflik moral, dan pesan religius yang kuat.
Puncak produktivitas Rhoma di film terjadi sejak pertengahan 1970-an hingga pertengahan 1980-an. Berbagai sumber filmografi mencatat deretan judul seperti “Oma Irama Penasaran” (1976), “Gitar Tua Oma Irama” (1977), “Darah Muda” (1977), “Rhoma Irama Berkelana I & II” (1978), “Begadang” (1978), dan “Raja Dangdut” (1978).
Film-film ini bukan hanya laris, tapi juga membentuk citra Rhoma sebagai sosok musisi jalanan yang religius, tegas membela kaum kecil, dan selalu menang melawan kebatilan. Judul-judul tersebut kemudian dilanjutkan dengan “Camelia” (1979), “Cinta Segitiga” (1979), “Perjuangan dan Doa” (1980), dan “Melodi Cinta Rhoma Irama” (1980) yang menggabungkan alur melodrama dengan lagu-lagu yang sudah populer di kaset.
Memasuki awal 1980-an, film Rhoma Irama semakin kuat nuansa moral dan dakwahnya. Beberapa sumber akademik dan biografi menyebutkan bahwa hampir semua filmnya di era ini meraih sukses besar di pasaran, di antaranya “Badai di Awal Bahagia” (1981), “Sebuah Pengorbanan” (1982), “Satria Bergitar” (1984), “Cinta Kembar” (1984), “Pengabdian” (1985), dan “Kemilau Cinta di Langit Jingga” (1985).
Dalam film-film ini, Rhoma biasanya memerankan dirinya sendiri atau sosok pemuda sederhana yang diuji oleh godaan dunia: harta, wanita, dan kekuasaan. Konflik ceritanya hampir selalu berujung pada pertobatan, penguatan iman, dan kemenangan nilai-nilai Islam, menjadikan film-film tersebut sarana dakwah populer di kalangan penonton kelas menengah hingga akar rumput.

Pada dekade 1990-an, meski produksi film nasional menurun, Rhoma Irama masih tercatat tampil dalam beberapa judul penting. Basis data film seperti IMDb dan sejumlah artikel hiburan menyebut film “Jaka Swara” (1990), “Nada dan Dakwah” (1991), serta “Tabir Biru” (1993) sebagai beberapa karya yang menandai fase transisi Rhoma dari kejayaan layar lebar ke dominasi televisi dan panggung konser.
Tema yang diangkat tetap konsisten: pertarungan antara kebenaran dan kemaksiatan, pentingnya menjaga kehormatan keluarga, dan kewajiban berdakwah di tengah masyarakat. Di periode ini, karakter Rhoma semakin melekat sebagai figur ustaz sekaligus seniman, sehingga banyak penonton yang mengidentikkan pesan filmnya dengan ceramah keagamaan yang dikemas dalam bentuk hiburan.
Walau era kejayaan film dangdut di bioskop meredup setelah 1990-an, kiprah Rhoma Irama di layar lebar tidak berhenti total. Memasuki 2000-an, ia kembali hadir melalui film seperti “Dawai 2 Asmara” (2010) dan “Sajadah Ka’bah” (2011) yang tercatat dalam filmografinya sebagai aktor dan komposer.
Sejumlah media mencatat bahwa secara total Rhoma telah membintangi lebih dari 25 hingga sekitar 29 judul film, tergantung cara penghitungan masing-masing sumber.
Meski kini lebih dikenal sebagai legenda musik dan tokoh publik, warisan film-film Rhoma Irama tetap hidup di televisi, platform digital, dan ingatan kolektif penonton. Dari “Djendral Kantjiel” hingga “Sajadah Ka’bah”, perjalanan filmnya menunjukkan bagaimana seorang seniman menggunakan layar lebar bukan sekadar untuk hiburan, tetapi juga sebagai jalan dakwah, kritik sosial, dan penguatan identitas budaya dangdut Indonesia.
Penulis: drhandri/suarasoneta

