Jika Soneta adalah revolusi, maka Chandraleka adalah salah satu pintu masuk menuju revolusi itu.
Di tengah riuhnya sejarah musik Indonesia, nama Orkes Melayu Chandraleka mungkin tidak setenar Soneta, Purnama, atau Sinar Kemala. Namun bagi para penggemar dangdut klasik, orkes pimpinan Umar Alatas ini adalah batu pijakan penting dalam perjalanan panjang musik Melayu menuju dangdut modern. Jejaknya tersebar di arsip-arsip kaset lawas, piringan hitam, dan catatan perjalanan para penyanyi besar yang pernah melewati panggungnya.
Orkes Melayu Chandraleka mulai dikenal publik sejak akhir 1960-an, sebuah masa ketika musik Melayu sedang bergerak cepat. Gelombang pengaruh India, Timur Tengah, dan pop elektrik dari Barat membuat format Orkes Melayu berkembang pesat. Dalam situasi itu, Umar Alatas tampil sebagai sosok penting: seorang pemimpin orkes sekaligus pencipta lagu yang mengarahkan Chandraleka menjadi laboratorium transisi dari pop Melayu menuju bentuk baru yang kelak disebut dangdut.
Keberadaan Chandraleka terdokumentasi dalam berbagai rilis musik dari label besar masanya—Mulai dari Mesra, Mutiara, Diamond, Life, hingga Indra Record. Di sampul-sampul piringan hitam itu tertulis jelas: “Orkes Melayu Chandraleka – Pimpinan: Umar Alatas.” Dari sinilah arsip-arsip musik seperti Irama Nusantara dan katalog kolektor internasional menegaskan Chandraleka sebagai orkes yang produktif dan berpengaruh. Beragam penyanyi menghiasi rilisan Chandraleka, memperlihatkan bagaimana orkes ini menjadi arena tumbuhnya calon bintang dangdut besar di kemudian hari.
Salah satu momen paling menarik dalam sejarah Chandraleka adalah bergabungnya seorang penyanyi muda bernama Oma Irama. Menurut catatan wawancara dan arsip musik, pada tahun 1968 Oma bergabung dengan Chandraleka untuk rekaman album Pelita Hidup. Di sini ia membawakan lagu “Djelita Teruna” dan “Ingkar Djanji”, dua karya Umar Alatas yang menggambarkan ciri khas pop Melayu masa itu: melodi romantis, lirik dramatik, dan sentuhan ritmis yang mulai bergerak ke arah dangdut. Rekaman ini pula yang kemudian disebut sebagai salah satu batu loncatan awal dalam karier Rhoma Irama sebelum ia membentuk Soneta Group beberapa tahun kemudian.
Kalau tidak ada orkes melayu chandraleka, mungkin rhoma irama dan sonata akan lain ceritanya.
Chandraleka juga menjadi tempat persinggahan penyanyi-penyanyi besar lainnya. Ellya Khadam, salah satu ikon awal dangdut, tercatat mengisi beberapa album Chandraleka, termasuk Pelita Hidup. Jejak Ellya inilah yang kemudian mempengaruhi generasi berikutnya, termasuk Elvy Sukaesih. Tak hanya itu, penyanyi seperti Muchsin Alatas, yang kelak menjadi salah satu nama besar dangdut era 1970–1980-an, juga muncul dalam beberapa rekaman Chandraleka. Kehadiran mereka memperlihatkan bahwa Chandraleka bukan sekadar orkes pendamping, melainkan salah satu pusat aktivitas musik Melayu masa itu.

Selain Ellya dan Muchsin, sederet nama lain yang kelak menjadi legenda dangdut juga tercatat pernah bekerja bersama Chandraleka: Elvy Sukaesih, Mansyur S., Meggy Z., A. Rafiq, hingga Djuhana Sattar. Di sampul-sampul kaset lawas mereka dapat ditemukan jelas tulisan “Dibawakan oleh… bersama OM Chandraleka”, sebuah bukti bahwa orkes ini menjadi rumah kreatif bagi banyak penyanyi yang kemudian membawa dangdut ke arus utama musik Indonesia.
Secara musikal, gaya Chandraleka menampilkan ciri khas Orkes Melayu generasi akhir: perpaduan instrumen akustik seperti biola dan akordeon dengan gitar elektrik, bass, serta dua kendang yang semakin tegas pola ritmenya. Inilah warna musik yang kemudian dipaparkan para peneliti, termasuk Andrew N. Weintraub, sebagai fase peralihan menuju dangdut modern. Ciri ini terdengar jelas pada lagu-lagu ciptaan Umar Alatas: “Djelita Teruna”, “Ingkar Janji”, “Mengharap Kembali”, “Dimana”, dan berbagai karya lain yang muncul dalam rilisan Chandraleka. Lirik-liriknya sebagian besar berkisah tentang cinta, penantian, dan patah hati—tema abadi musik Melayu yang kemudian menjadi fondasi dangdut.
Dalam beberapa rilisan kaset dan LP, Chandraleka juga menghadirkan nuansa orkes yang lebih luas, menampilkan penyanyi-penyanyi seperti Ria Harmonis, Doddy Ronald, M. Soleh HS., dan Ali S. Mereka umumnya tampil dalam album-album bertema Melayu klasik, sering diberi label “Classic Dangdut” pada era reissue digital. Repertoar mereka menunjukkan adanya kesinambungan antara pop Melayu lembut dengan dangdut yang ritmis, memperlihatkan bagaimana Chandraleka berperan sebagai jembatan gaya.

Meski tidak ada banyak catatan biografis mendalam tentang Umar Alatas di media modern, kehadirannya dalam sejarah musik Melayu sangat jelas. Ia bukan hanya pemimpin orkes, tetapi juga pencipta lagu yang menghasilkan banyak karya penting pada masa ketika musik Indonesia sedang berubah cepat. Arsip rekaman menunjukkan bahwa namanya konsisten muncul sebagai komposer di sampul-sampul album Chandraleka—suatu tanda bahwa ia bukan sekadar konduktor, tetapi juga fondasi kreatif orkes tersebut.
Kini, beberapa dekade setelah masa keemasan Orkes Melayu, Chandraleka tetap hidup melalui kaset-kaset lawas, digitalisasi kolektor, dan unggahan YouTube yang mempopulerkan kembali suara masa lalu. Para penggemar dangdut klasik masih mencari rilisan-rilisannya, bukan hanya untuk nostalgia tetapi juga sebagai bagian dari pemahaman sejarah musik Indonesia. Bagi para peneliti maupun pecinta musik Nusantara, Chandraleka adalah sebuah puzzle penting yang membantu menjelaskan bagaimana dangdut lahir—bukan tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang dalam ruang-ruang kreatif seperti yang dibangun Umar Alatas.
Pada akhirnya, Orkes Melayu Chandraleka layak ditempatkan dalam jajaran kelompok musik bersejarah Indonesia. Dalam diamnya arsip-arsip tua dan kelangkaan rekaman fisik yang tersisa, tersimpan cerita bahwa musik yang kini menjadi identitas budaya besar seperti dangdut pernah ditempa dalam sebuah orkes yang dipimpin dengan tekun oleh Umar Alatas. Jejak Chandraleka bukan sekadar nostalgia, melainkan bagian penting dari perjalanan estetika Melayu menuju panggung musik nasional. Jika Soneta adalah revolusi, maka Chandraleka adalah salah satu pintu masuk menuju revolusi itu.
Penulis: drhandri/suarasoneta

