Basis Penggemar Rhoma Irama dan Militansinya di Tengah Masyarakat

Selama lebih dari lima dekade berkarya, Rhoma Irama bukan sekadar musisi legendaris, ia adalah fenomena sosial dan kultural yang mengakar kuat di tengah masyarakat Indonesia. Basis penggemarnya, yang dikenal militan dan loyal, bukan hanya menonton dan menikmati lagu, tetapi menjadikan Rhoma dan Soneta sebagai simbol perjuangan moral, spiritual, dan sosial. Militansi penggemar ini merupakan salah satu faktor utama yang membuat eksistensi Rhoma Irama tetap kokoh melintasi zaman dan generasi.

Rhoma Irama pertama kali merebut hati publik pada awal 1970-an ketika ia memadukan musik melayu dengan unsur rock, menghasilkan identitas baru yang disebut dangdut modern. Namun yang membedakan Rhoma dari musisi lain adalah pesan dakwah dan nilai moral yang disisipkan dalam hampir setiap karyanya. Lagu-lagu seperti Tersesat, Keramat, 135.000.000, hingga Judi bukan hanya hiburan, tetapi sarana penyadaran sosial. Hal ini menjadikan para pendengar Rhoma bukan sekadar “penikmat musik”, melainkan pengikut ideologi musikal dan moral.

Basis penggemar Rhoma Irama dikenal dengan sebutan Fans Of Rhoma and Soneta (FORSA). Mereka tersebar di berbagai daerah di Indonesia, dari kota besar hingga pelosok desa. FORSA yang dibentuk secara formal dan direstui langsung oleh Rhoma yang kemudian melakukan kegiatan-kegiatan rutin di masyarakat. Penggemar Rhoma selain di FORSA, ada juga yang berdiri sendiri atau istilahnya non organik. Di setiap konser Rhoma, FORSA kerap hadir dengan atribut khas: kaus bergambar Rhoma, spanduk dukungan, hingga poster besar bertuliskan ayat-ayat moral dari lagu-lagunya. Militansi ini bukan karena fanatisme semata, melainkan karena Rhoma dianggap sebagai ikon perjuangan rakyat kecil — suara bagi mereka yang tertindas dan termarjinalkan.

Dalam konteks sosial, militansi penggemar Rhoma juga terlihat dalam konsistensi dukungan lintas generasi. Banyak keluarga yang menurunkan kecintaan pada Soneta dari orang tua ke anak-anaknya. Fenomena ini menjadikan musik Rhoma sebagai bagian dari identitas kultural masyarakat, terutama di kalangan menengah bawah dan komunitas pesantren. Lagu-lagu Rhoma tidak jarang diputar dalam acara keagamaan, pesta rakyat, hingga kampanye sosial, menunjukkan jangkauan pengaruh yang luar biasa luas.

Di era digital, militansi FORSA menemukan bentuk baru. Media sosial seperti YouTube, Facebook, dan TikTok dipenuhi konten penggemar yang mengunggah ulang konser lama, membuat cover lagu, hingga mengadakan siaran radio daring seperti SuaraSoneta yang menghidupkan kembali semangat Soneta Group. Ini membuktikan bahwa penggemar Rhoma mampu beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan esensi perjuangan mereka: menyebarkan pesan moral melalui musik.

Dari sudut pandang budaya, basis penggemar Rhoma merupakan contoh resiliensi kolektif — mereka bertahan bukan karena kultus terhadap individu, tetapi karena nilai-nilai universal yang diperjuangkan dalam karya Rhoma: keadilan, kebenaran, dan ketakwaan. Militansi ini menjadikan Sonetmania bukan hanya penggemar musik, tetapi juga bagian dari gerakan sosial yang memperjuangkan nilai-nilai luhur melalui seni.

Dengan loyalitas lintas generasi, pengaruh sosial yang mendalam, serta kemampuan beradaptasi di era digital, militansi penggemar Rhoma Irama menjadi fenomena unik di dunia musik Indonesia — bukti bahwa kekuatan musik yang membawa pesan moral akan selalu menemukan tempat di hati masyarakat.

Penulis: drhandri/suarasoneta

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *