Soneta Group yang dipelopori Rhoma Irama lahir pada 11 Desember 1970 dan sejak itu menjadi salah satu pilar dangdut di Indonesia. Perayaan 55 tahun Soneta mencerminkan kontinuitas karier yang jarang ditemui di musik populer nasional. Ketahanan ini bukan kebetulan, melainkan hasil kombinasi inovasi musikal, konsistensi tema, kemampuan beradaptasi dengan era baru, serta relasi emosional yang kuat dengan pendengar dari berbagai generasi. Secara sederhana, Soneta Group bukan hanya band dangdut, mereka merepresentasikan narasi sosial dan religius yang berulang-ulang relevan bagi Indonesia.
Secara musikal, keunggulan Soneta Group terletak pada hibriditas bunyi dan kualitas pemainnya. Rhoma menggabungkan unsur rock, pop, dan musik Melayu tradisional sehingga melahirkan tata suara dangdut yang lebih “band-oriented” dengan permainan gitar, aransemennya yang kompleks, dan solo instrumen yang menonjol. Pendekatan ini memberi Soneta Group daya tarik lintas kelas dan generasi, lagu bisa dinikmati sebagai musik populer sekaligus tontonan live yang energik. Literatur akademik menunjukkan bahwa identitas musik Rhoma terbentuk lewat negoisasi nilai lokal dan global, itu yang memberi Soneta Group pondasi sonik berbeda dibandingkan banyak penyanyi dangdut yang tetap memakai aransemen lebih sederhana.

Aspek lirik adalah pembeda penting kedua. Rhoma terkenal memasukkan pesan moral, religius, dan sosial ke dalam liriknya dari nasihat hidup sampai kritik social, yang kemudian dianalisis oleh beberapa studi sebagai mengandung nilai-nilai moral dan religius yang kuat. Lirik yang sarat pesan ini membuat lagu-lagu Soneta Group lebih mudah menjadi “alat” pendidikan moral dan pembentuk identitas kolektif, sehingga bukan sekadar hiburan ringan. Keberpihakan tematik ini menjadikan Soneta Group relevan pada masa-masa krisis sosial maupun pada momen religiusitas publik, memberi kedalaman yang kurang selalu ditemui pada dangdut komersial yang fokus hanya pada tema asmara atau pesta.

Keunggulan ketiga adalah kemampuan Soneta/Rhoma untuk beradaptasi: mereka memadukan strategi media (rekaman, TV, konser besar), kolaborasi, dan pembaruan repertoire tanpa mengorbankan “suara” inti. Kehadiran mereka di platform modern dari rilisan resmi di Spotify/YouTube hingga tampil di festival, memperlihatkan bagaimana warisan lama bisa di-monetize dan diperkenalkan ke audiens muda tanpa kehilangan basis penggemar lama. Selain itu, tradisi konser Soneta (pertunjukan live yang intens dan ritual perjumpaan fans) menjaga loyalitas yang sulit dibeli lewat kampanye promosi singkat; jaringan fans ini bertindak sebagai penjaga warisan musikal. Bukti penampilan live terbaru menunjukkan Soneta masih relevan di panggung besar dan festival.

Dibandingkan dangdut lainnya, perbedaan utama Soneta Group adalah kombinasi kualitas musikal (aransemen band/rock), lirik berisi pesan moral/religius, dan peran publik Rhoma sebagai figur sosial-politik. Banyak artis dangdut menonjol karena vokal, tari, atau citra selebritas, sementara Soneta Group menonjol juga lewat narasi moral dan karya komposisi yang sistematis. Risiko dari pendekatan Rhoma adalah kontroversi (karena keterlibatan politik dan dakwah), tetapi hal itu justru memperkuat posisi Soneta Group sebagai lebih dari sekadar penghibur: sebagai institusi budaya yang berbicara pada identitas dan moral masyarakat. Jadi, ketahanan selama 55 tahun bukan hanya soal hits, melainkan soal relevansi kultural, musikal, dan emosional yang terjaga dari generasi ke generasi.
Oleh: drhandri/suarasoneta

