Syair Rhoma Irama dan Covid-19

M. Soleh, S.H, M.H News 27 July 2021

Bukan Rhoma Irama namanya jika syair dalam gubahan lagunya tak menyentuh persoalan sehari-hari masyarakat, termasuk misalnya ketika sang raja dangdut mencipta lagu yang berjudul “Virus Corona” pada awal Indonesia terjangkit, tahun 2020 lalu. Lagu juga dibuat dalam versi bahasa Inggris, agar publik dunia juga mendengar.

Dalam akun youtube Rhoma Irama Official (RIO), sepekan lagu tersebut sudah didengar sekitar satu jutaan orang. Kini, masyarakat yang menikmati lagu corona sudah mencapai sekitar 6,6 juta orang. Sesungguhnya tidak begitu penting, seberapa banyak yang menikmati lantunan lagu bernuansa sedih itu, tetapi kelak lagu Pak Haji tersebut akan dikenang oleh sejarah sebagai sebuah catatan: dunia pernah menderita karena virus corona. Ratusan juta warga dunia terinfeksi, jutaan orang meninggal.

Indonesia, negara yang amat kita cintai ini juga sangat terpukul. Pemerintah dengan segala kebijakan yang diterbitkan, bukan hanya bagaimana cara memutus mata rantai penularan, tetapi juga bagaimana memikirkan dampak yang amat besar dalam berbagai sektor kehidupan. Upaya pemerintah pun sudah beragam untuk memutus penularan, dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro, PPKM Darurat dan sekarang menjadi PPKM level 1-4.

Sampai saat ini, sudah tiga juta lebih masyarakat Indonesia terkonfirmasi positif dengan 82 ribu jiwa meninggal dunia. Sebuah keprihatinan dan kesedihan yang harus dirasakan bersama. “Kengerian yang mencekam melanda segenap alam kala makhluk itu datang menyerang dan mematikan. Hanyalah padamu Tuhan, kami mohon perlindungan, dari ancaman bahaya virus yang makin mewabah” begitu tulis Rhoma merespons awal pandemi COVID-19.

Syair lagu Rhoma Irama dikenal banyak kalangan memang akrab di telinga masyarakat pendengar, karena salah satunya bertutur terhadap realitas kehidupan. Dalam konteks menghadapi pandemi Covid-19 ini sebenarnya beberapa lagu juga cocok untuk direnungkan. Misalnya, siapa yang tidak kenal dengan lagu begadang. Lagu yang dicipta tahun 1975 itu, alkisah dibuat karena sahabat Rhoma Irama meninggal dunia karena terlalu banyak begadang. Lagu ini sangat hits pada zamannya, melegenda dan masih populer hingga saat ini.

Ahli kesehatan mana pun bersepakat bahwa begadang menurunkan imunitas tubuh manusia, dan ini menjadi ancaman masuknya virus corona. Bisa dikatakan orang yang sering begadang di era pandemi COVID-19 ini rentan tertular COVID-19. Ketika kita ingin divaksin esok hari, dokter selalu berpesan istirahat yang cukup, jangan begadang. Meskipun Pak Haji akhirnya bilang “begadang boleh saja, kalau ada artinya” tetaplah hindari pada masa-masa pandemi ini, demi kebugaran tubuh.

Ternyata tidak hanya lagu Begadang, Rhoma juga bersyair tentang “Nilai Sehat”, sebuah lagu yang diciptakan tahun 1984 . Dalam lagu tersebut, Rhoma mendeskripsikan secara apik tentang bagaimana rasanya orang sakit. “Kekasih tak menggiurkan, permata tak menakjubkan, jabatan tak membanggakan, lingkungan tak menggairahkan. Yang manis pahit di lidah, yang indah buruk di mata, yang kaya miskin di dada, yang gagah lemah di rasa. Pabila penyakit bersarang di badan, dunia tak lagi menjadi ukuran. Betapa tingginya nilai kesehatan, itulah hartamu yang terbandingkan”.

Syair tersebut sempurna menjelaskan bagaimana tidak enaknya menahan rasa sakit yang dirasakan oleh seluruh badan, sehingga kita tidak akan sempat lagi memikirkan hal-hal yang beraroma duniawi. Kita bersama menyaksikan antrean calon pasien COVID-19 di berbagai rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan. Banyak yang tidak tertolong dan akhirnya meninggal dunia, selain karena sudah takdir ilahi, tidak dimungkiri juga karena terbatasnya kapasitas rumah sakit yang tidak sebanding dengan jumlah pasien. Banyak juga diberitakan pasien meninggal dunia karena kehabisan oksigen. Dalam kondisi tersebut, pihak rumah sakit hampir pasti tidak lagi memandang status lagi sosial kita. Semua sesuai antrean.

Maka, ketika ada seorang anggota DPR yang meminta perlakuan khusus untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak sesuai jabatannya, langsung disambar kritik oleh masyarakat luas, bahkan menjadi bahan guyonan. Menkopolhukam, Mahfud MD pun mencermati situasi ini dengan mengatakan harta dan jabatan kini seolah-olah tak ada gunanya. Warga yang terpapar Covid-19 dari semua kalangan tetap harus antre masuk rumah sakit.

Tidak sampai situ saja, Rhoma pun bertutur soal solidaritas. Ia mencipta lagu yang berjudul “Pengorbanan” tahun 1982. Di sana pak Haji menyeru, “ Direlakan penderitaan sendiri demi kebahagiaan seorang teman”. Makna solidaritas dalam lagu ini sangat tinggi, sampai-sampai kalau perlu rela menderita untuk kebahagiaan seorang teman, atau juga bisa saja diterjemahkan bukan hanya teman, tetapi juga orang lain yang membutuhkan. Di saat pandemi COVID-19 ini, kita melihat masyarakat bergotong-royong, saling membantu. Jika ada tetangga yang sedang melakukan isolasi mandiri (isoman), maka warga saling bergantian memberikan makanan dan minuman. Ini banyak dijumpai di pemukiman/perumahan warga.

Dalam skala yang lebih luas, banyak juga mereka saling membantu memberikan informasi soal ketersediaan oksigen atau bahkan menyumbangkan oksigen bagi yang paling membutuhkan. Dan yang paling dramatis ketika ada kawan, kerabat atau orang yang tidak kenal membutuhkan donor plasma konvalesen, berseliweran di media sosial, termasuk di Whatsapp group, dengan syarat-syarat medis yang cukup ketat. Kita membayangkan betapa sang pasien sangat menunggu sesuatu yang terpenting dalam seumur hidupnya demi kesembuhan, sementara kita hanya bisa membantu menyambungkan informasi tersebut, sambil berharap ada relawan pendonor yang berbaik hati.

Masih banyak lagu Pak Haji yang relatif terkait dengan pandemi COVID-19, yang terakhir ini bisa saja menguras air mata. Sejak varian delta ini menyerang awal Juli lalu, kita tiba-tiba mengalami lonjakan kematian yang luar biasa. Selalu ada saja status di media sosial yang mengabarkan kedukaan, baik teman, kerabat bahkan dari keluarga kita sendiri. Di grup WhatsApp selalu menjemput dini hari atau pagi setelah subuh dengan kalimat pembuka Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, kita pun menyambut dengan doa, semoga almarhum husnul khotimahrest in peace.

Yang agak menyesakkan berita tentang seorang bocah berumur 10 tahun di Kutai Barat, Kalimantan Timur, bernama Alviano Dava Raharjo alias Vino yang ditinggal kedua orang tuanya karena covid, hanya berselang satu hari. Vino pun melakukan isolasi mandiri, hingga akhirnya banyak pihak setempat yang membantu. Vino salah satu anak yang menjadi yatim piatu seketika. Tentunya banyak Vino yang lain di tanah air yang tiba-tiba ditinggal orang tuanya.

Dalam sebuah jurnal yang diterbitkan oleh The Lancet pada Juli 2021, diperkirakan 1,5 juta anak di seluruh dunia telah kehilangan orang tua, kakek-nenek, atau kerabat lain yang mengasuh mereka karena meninggal akibat akibat COVID-19. Dukungan untuk Vino dan lainnya yang ditinggal orang tua karena menderita COVID-19, Pak Haji pun berpesan dalam sebuah lagu berjudul yatim piatu, “wahai semua kawan, atasmu kewajiban, menyantuni mereka dan mengasihinya. Sungguh engkau manusia yang tiada beriman bila pada mereka tak belas kasihan”.

Artikel dimuat dalam https://kumparan.com/msoleh2609/syair-rhoma-irama-dan-covid-19-1wCe3HWmoEu/full

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *