Dalam sinema Indonesia era 1980-an, Satria Bergitar berdiri sebagai salah satu film yang memperlihatkan bagaimana musik dapat menjadi roh utama sebuah cerita. Bukan sekadar pengiring adegan, musik dalam film ini justru menjadi tulang punggung narasi—bahkan menjadi identitas sang tokoh utama, Rhoma Irama. Film ini menempatkan gitar bukan sebagai alat hiburan, melainkan sebagai simbol moral, senjata kebenaran, dan cahaya dakwah. Setiap petikan nada membawa pesan, dan setiap bait lirik memuat makna.
Sejak awal kemunculan Rhoma sebagai seorang musafir misterius yang membawa gitar di punggungnya, penonton langsung menangkap bahwa karakter ini bukan pahlawan biasa. Kehadirannya selalu dibarengi nuansa musik yang lembut namun kuat, seolah menandai bahwa ia membawa misi spiritual yang lebih besar dari sekadar petualangan. Ketika Rhoma menyembuhkan Putri Tirza, musik yang mengalun bukan hanya membangun suasana haru, tetapi juga menegaskan bahwa tokoh ini datang membawa “cahaya”—suatu kekuatan yang memadukan iman dan seni. Pada saat itulah musik bekerja untuk memperkuat kesan bahwa Rhoma bukan hanya penyelamat fisik, tetapi juga penyembuh jiwa.
Lirik-lirik yang muncul sepanjang film banyak mengambil tema nasihat dan tauhid, sesuatu yang memang menjadi ciri khas karya Rhoma Irama. Saat karakter Rhoma berdialog dengan Raja Wasit dan mengenalkan ajaran Islam, musik berubah menjadi lembut, dengan nada yang menenangkan seolah sedang membelai hati. Lirik-liriknya tidak menggurui, tetapi terasa seperti percikan cahaya yang menuntun tokoh-tokoh di film memahami makna kebenaran. Musik pada bagian ini menjadi jembatan spiritual, mengubah arah hidup sang raja dan menjadi titik balik penting dalam alur cerita.

Namun, musik dalam Satria Bergitar bukan hanya hadir pada momen-momen lembut atau spiritual. Ketika ketegangan meningkat—seperti ketika Putri Tirza diculik oleh Abu Garin—komposisi musik berubah menjadi lebih gelap dan menekan. Nada minor memenuhi ruangan, memberi isyarat bahwa kezaliman tengah memuncak. Musik menciptakan atmosfer bencana yang membuat penonton larut dalam kecemasan yang sama seperti para tokoh. Di sini, musik bertindak sebagai penutur emosional: ia memberi tahu penonton bahwa situasi sedang tidak aman, bahkan sebelum dialog mengungkapkannya.
Salah satu bagian paling menarik adalah ketika Rhoma menyusup ke wilayah musuh dengan menyamar sebagai rombongan musik. Adegan ini memperlihatkan keunikan film tersebut: musik bukan hanya simbol dakwah atau penanda suasana, tetapi menjadi strategi. Melalui nada dan irama, Rhoma mendekati musuhnya, memanfaatkan musik sebagai senjata yang tampak lembut namun sebenarnya penuh kecerdikan. Adegan ini menunjukkan betapa musik dalam film ini telah diberi fungsi yang multifaset, menjadikannya medium yang fleksibel—moral, emosional, sekaligus taktis.
Ketika film mencapai puncaknya, yaitu duel Rhoma dengan Abu Garin, musik kembali memainkan perannya dengan sangat kuat. Komposisi yang megah dan heroik mengiringi pertarungan nilai antara kebenaran dan kezaliman. Lirik-lirik yang muncul pada bagian ini mengutuk tirani dan membangkitkan semangat keberanian. Dalam adegan ini, musik menegaskan bahwa pertarungan bukan sekadar fisik, melainkan pertarungan ideologi dan moralitas. Nada demi nada seakan menyuarakan bahwa kemenangan bukan hanya diukur dari siapa yang hidup, tetapi dari siapa yang membawa kebenaran.
Yang membuat Satria Bergitar begitu unik adalah bagaimana musik di dalamnya tidak pernah berdiri sendirian. Setiap syair memiliki konteks emosional dan spiritual yang menempel erat pada setiap adegan. Penggunaan simbolisme seperti cahaya, langit, perjalanan musafir, dan bahkan gitar itu sendiri memperkaya makna yang ingin disampaikan. Gitar menjadi metafora atas suara kebenaran; cahaya menjadi lambang hidayah; perjalanan musafir menggambarkan dakwah yang tak mengenal batas waktu dan tempat. Bahkan Mutiara Samudera Tantangan yang menjadi objek perebutan menggambarkan amanah dan kebenaran yang harus dijaga.

Music scoring film ini juga terasa lebih epik dibanding film-film Rhoma lainnya pada era itu. Ada sentuhan teatrikal yang kuat, seolah film ingin menempatkan dirinya di antara kisah-kisah heroik klasik. Rhoma tidak digambarkan sebagai pahlawan biasa, melainkan sebagai “satria”—penunggang nada yang menjadikan musik sebagai pedang kebenaran. Inilah yang membuat film ini terasa monumental.
Pada akhirnya, musik dalam Satria Bergitar adalah jiwa yang menghidupkan setiap detik film. Ia menggerakkan cerita, membentuk suasana, membangun karakter, dan menyampaikan pesan dakwah yang dalam. Tanpa musiknya, film ini hanyalah kisah tentang perebutan kekuasaan di sebuah kerajaan fiktif. Tetapi dengan musik, film ini berubah menjadi perjalanan moral: sebuah kisah tentang cahaya, kebenaran, dan perjuangan melawan kezaliman—semua lewat nada dan syair.
Jika Satria Bergitar dikenang hingga hari ini, itu bukan semata karena aksi atau alur ceritanya, tetapi karena irama yang menggetarkan hati penonton, lirik yang menyentuh batin, dan kekuatan musik yang menjadikan film ini sebuah legenda. Rhoma tidak hanya bermain peran sebagai pahlawan, ia juga menghadirkan diri sebagai penyair kebenaran, yang petikan gitarnya masih terus berbunyi dalam ingatan penggemarnya.
Penulis: drhandri/suarasoneta

